Abdul Halim atau K.H. Abdul Halim, lebih dikenal
dengan nama K.H. Abdul Halim
Majalengka (lahir di Desa Ciborelang, Jatiwangi,
Majalengka, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa
Barat, 26
Juni 1887 – meninggal
diMajalengka, 7 Mei 1962 pada umur 74 tahun)
adalah Pahlawan
Nasional berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia,Susilo Bambang Yudoyono Nomor: 041/TK/Tahun
2008 tanggal 6
November 2008.[1]. Seorang tokoh pergerakan nasional,
tokoh organisasi Islam, dan ulama yang terkenal toleran
dalam menghadapi perbedaan pendapat antar ulama tradisional dan pembaharu
(modernis)
Biografi
Kiai Abdul Halim putra K.H. Muhammad
Iskandar, lahir dengan nama Otong Syatori.[5][6] Ia
merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad
Iskandar dan Hj. Siti Mutmainah.[6]
Selain mengasuh
pesantren, ayahnya juga seorang penghulu di Kawedanan, Jatiwangi, Majalengka.[6] Sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Halim telah memperoleh
pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar.[2] Ayahnya
meninggal ketika Kiai Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan
kakak-kakaknya.[2]. Pada umur 21 tahun, Kiai Halim
menikah dengan Siti Murbiyah puteri K.H. Muhammad Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka).[2][6]Pernikahan mereka dikaruniai tujuh
orang anak.[2]
Seorang di antara cucunya yang aktif di
berbagai organisasi Islam seperti sebagai pengurus BP4 Pusat, [7], BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi
Islam Wanita Indonesia),
GUPPI Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam adalah Dra. Hj. Dadah
Cholidah, M.Pd.I. Presidium BMOIWI periode (2015-2016).
Pendidikan
Sejak kecil Kiai Halim tergolong anak yang
gemar belajar.[2] Terbukti
ia banyak membaca ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan.[2] Ketika
berumur 10 tahun Kiai Halim belajar al-Qur'an dan Hadis kepada
K.H. Anwar, yang sekaligus menjadi guru pertamanya di luar keluarganya sendiri.[2] K.H.
Anwar merupakan seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan, Majalengka.[2] Sebagai penggemar ilmu, Kiai Halim juga mempelajari
disiplin ilmu lainnya, tidak pandang apakah yang menjadi gurunya sealiran (Islam)
ataupun tidak, asalkan dapat bermanfaat bagi perjuangannya kelak.[2] Hal
itu terlihat ketika Kiai Halim belajar bahasa Belanda dan huruf latin kepada
Van Hoeven, seorang pendeta danmisionaris di
Cideres, Majalengka.[2]
Ketika menginjak usia dewasa, Kiai Halim mulai
belajar di berbagai Pondok Pesantren di wilayah Jawa Barat.[2] Di
antara pesantren yang pernah menjadi tempat belajar Kiai Halim adalah :[2]
·
Pesantren Lontang jaya, Penjalinan, Leuwimunding, Majalengka, pimpinan Kiai Abdullah.
·
Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon, Cirebon, asuhan Kiai Sujak.
·
Pesantren Ciwedus, Timbang, Kecamatan Cilimus, Kuningan, Kabupaten Kuningan,
asuhan K.H. Ahmad Shobari.[8]. [9]
·
Dan yang terakhir Abdul Halim berguru kepada K.H. Agus,
Kedungwangi, Kenayangan, Pekalongan, sebelum akhirnya kembali
memperdalam ilmunya di Pesantren Ciwedus,Cilimus, Kuningan, kabupaten Kuningan.
Di sela-sela kesibukannya
belajar di pesantren, Kiai Halim menyempatkan dirinya untuk berdagang.[5] Ia
berjualan minyak wangi, batik, dan kitab-kitab pelajaran agama.[5]
Belajar di Mekkah
Setelah banyak belajar di beberapa pesantren
di Indonesia,
Kiai Halim memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk
melanjutkan mendalami ilmu-ilmu keislaman.[2] Di
Mekah, Kiai Halim berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang
menetap di Mekah dan menjadi ulama besar sekaligus menjadi Imam di Masjidil Haram.[2][10] Selama
menuntut ilmu di Mekkah, Kiai Halim banyak bergaul dengan K.H. Mas Mansur yang
kelak menjadi Ketua UmumMuhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama dan Rais Am Syuriyah (Ketua Umum Dewan
Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut setelah Kiai Hasjim Asy'ari meninggal pada tahun 1947.[2] Kedekatan
Kiai Halim terhadap kedua orang sahabatnya yang berbeda latar belakang antara
pembaharu dan tradisional inilah yang membuatnya terkenal sebagai ulama yang
amat toleran.[2]
Selain belajar langsung kepada Syeikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, Kiai Halim juga mempelajari kitab-kitab para ulama
lainnya, seperti kitab karya Syeikh Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad Rasyid Ridlo, dan ulama pembaharu
lainnya.[2] Selain
itu Kiai Halim juga banyak membaca majalah al-Urwatul
Wutsqo maupun al-Manar yang
membahas tentang pemikiran kedua ulama tersebut.[2].
Pesantren Santi
Asromo
Terdapat dua peninggalan K.H. Abdul Halim yang
masih bertahan hingga hari ini, yaitu: pesantren Santi
Asromo dan organisasi Persatuan Umat Islam (PUI) yang bergerak di bidang agama,
pendidikan, sosial dan budaya. Santri Asromo merupakan
pendidikan pesantren yang membekali siswa dengan keterampilan. “Belajar di
Santi Asromo ada pandai besi, menyuling minyak kayu putih, bertani kopi dan
lada serta beternak ayam, kambing dan ikan”, ujar Dadah Cholidah, cucu K.H.
Abdul Halim dari putrinya Halimah Halim.
Sang kakek, menurut Dadah Cholidah, memberi
pesan agar anak cucunya menjaga Santi Asromo itu. “Karena ketika beliau
mendirikan Santi Asromo penuh perjuangan dan ujian," ujar Dadah. Hingga
kini bangunan Santi Asromo telah berkembang dan berdiri kokoh di atas tanah
seluas 12 hektare dengan fasilitas pondok pesantren, Madrasah Ibtidaiyah PUI,
SMP Prakarya dan SMA Prakarya.
Sekretaris Jenderal Persatuan Umat Islam (PUI) periode 2009 - 2014[11], Ahmadie Thaha menilai, model
pendidikan Santri Asromo yang mengajarkan santri entrepreneurship melampaui
zamannya. “Waktu itu ada mesin jahit dan percetakan. Jadi bisa dibayangkan
zaman itu saja sudah modern”, ujar Ahmadie.
Perserikatan Ulama Indonesia/
Persatuan Umat Islam
Setelah tiga tahun belajar di Mekkah, Kiai Halim kembali ke Indonesia untuk
mengajar. Pada tahun 1911,
ia mendirikan lembaga pendidikan Majlis
Ilmi di Majalengka untuk
mendidik santri-santri di daerah tersebut.[2] Setahun
kemudian setelah lembaga pendidikan tersebut telah berkembang, Kiai Halim
mendirikan sebuah organisasi yang bernamaHayatul Qulub, yang kemudian
Majlis Ilmi menjadi bagian di dalamnya.[2]
Hayatul Qulub (Hayat al-Qulub) yang didirikan
tahun 1912 tersebut tidak hanya bergerak di
bidang pendidikan saja, melainkan juga masuk ke bidang perekonomian.[2] Hal
ini disebabkan Kiai Halim ingin memajukan lapangan pendidikan sekaligus
perdagangan.[2] Maka anggota organisasinya bukan saja dari kalangan
santri, guru, dan kiai, tetapi juga para petani dan pedagang.[2] Namun
organisasi yang bergerak di bidang dagang tersebut tentu akan mempunyai saingan
dagang, khususnya dengan pedagang Cina yang pada masa itu cenderung lebih
berhasil di bidang perdagangan.[2] Karena pemerintah Hindia Belanda lebih banyak membela kepentingan
pedagang-pedagang Cina yang diberi status hukum lebih kuat dibanding kelompok pribumi.[2]
Persaingan tersebut memuncak ketika pemerintah Hindia Belanda menuduh organisasi Hayatul Qulub
sebagai biang kerusuhan dalam peristiwa penyerangan toko-toko milik orang Cina yang terjadi di Majalengka pada
tahun 1915.[2] Akibatnya
pemerintah Hindia Belanda membubarkan Hayatul Qulub dan melarang meneruskan
segala kegiatannya.[2]Setelah dibubarkannya organisasi
tersebut, Kiai Halim memutuskan untuk kembali ke Majlis Ilmi untuk tetap
menjaga kepentingan perjuangan Islam,
terutama dalam bidang pendidikan.[2]
Pada tanggal 16 Mei 1916,
Kiai Halim secara resmi mendirikan lembaga pendidikan baru yang ia beri nama Jam’iyah al-I’anat al-Muta’alimin.[2] Lembaga
pendidikan ini lebih baik dari sebelumnya, karena Kiai Halim menerapkan sistem klasikal dengan lama kursus lima tahun dan sistem koedukasi.[2][10] Dan
bagi yang sudah mencapai kelas tinggi akan menerima pelajaran bahasa Arab.[10] Setahun
kemudian, HOS Cokroaminoto memberi dukungan terhadap lembaga
pendidikan tersebut, yang akhirnya dikembangkan dan diubah namanya menjadi Perserikatan Ulama yang lebih dikenal dengan PUI
(Perserikatan Ulama Indonesia).[2] Perserikatan
tersebut meemiliki panti asuhan, percetakan, dan sebuah pertenunan.[10].
Sekalipun aktif dalam berbagai organisasi itu,
Abdul Halim tetap mencurahkan perhatiannya untuk memajukan pendidikan. Hal itu
diwujudkannya dengan mendirikan Santi Asromo pada tahun 1932. Dalam lembaga
pendidikan ini, para murid tidak hanya dibekali dengan pengetahuan agama dan
pengetahuan umum, tetapi juga dengan keterampilan sesuai dengan bakat anak
didik, antara lain pertanian, pertukangan, dan kerajinan tangan.
Pada masa awal pendudukan Jepang, beberapa partai dan organisasi politik dibekukan.
Organisasi keagamaan yang dibolehkan berdiri hanya Muhammadiyah dan Nahdlatul 'Ulama. PO pun dibekukan. Namun, Abdul Halim tetap berusaha agar organisasi itu
dihidupkan kembali. Barulah pada tahun 1944 usahanya berhasil, tetapi namanya
diganti menjadi Perikatan Oemat Islam (POI). Kelak, pada tahun 1952, POI mengadakan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) yang
didirikan oleh K.H. Ahmad Sanusimenjadi Persatuan Umat Islam (PUI) dan Abdul Halim diangkat sebagai
ketua pertamanya.
Persatuan Umat Islam (PUI) memiliki tujuan pokok antara
lain:[2]
1.
Memajukan dan menyiarkan pengetahuan dan pengajaran agama Islam.
2.
Memajukan perihal penghidupan yang didasarkan atas hukum Islam.
3.
Memelihara tali percintaan dan persaudaraan yang kuat dan
membangunkan hati supaya suka tolong menolong antara satu dengan lainnya.
PUI melakukan beberapa upaya untuk mewujudkan
tujuannya tersebut, di antaranya adalah:[2]
1.
Mendirikan dan memelihara sekolah.
2.
Menerbitkan, menyiarkan, dan menjual buku-buku (kitab-kitab),
brosur, majalah, dan surat
kabar yang berisi tentang keislaman.
3.
Meningkatkan pertanian, perdagangan dan perekonomian lainnya.
4. Mendidik pemuda sebagai kader muslim masa mendatang.
5. Bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan muslim lainnya demi memajukan
Agama Islam.
Pergerakan Nasional
Pada masa pendudukan Jepang, Abdul Halim diangkat menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam dewan
perwakilan). Pada
bulan Mei 1945,
ia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan
segala sesuatu yang berhubungan dengan pembentukan negara. Dalam BPUPKI ini
Abdul Halim duduk sebagai anggota Panitia Pembelaan Negara.
Sesudah Republik Indonesia berdiri, Abdul Halim diangkat sebagai
anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Selanjutnya ia aktif membantu
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu Belanda melancarkan
agresi militer kedua
yang dimulai tanggal 19 Desember 1948,
Abdul Halim aktif membantu kebutuhan logistik bagi pasukan TNI dan para gerilyawan. Residen Cirebon juga
mengangkatnya menjadi Bupati Majalengka.
Pada 1928,
ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan K.H.M Anwaruddin
dari Rembang dan
K.H. Abdullah Siradj dariYogyakarta. Ia juga
menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang
didirikan pada 1937 di Surabaya.
Sesudah perang kemerdekaan berakhir, Abdul
Halim tetap aktif dalam organisasi keagamaan dan membina Santi Asromo. Namun,
sebagai ulama yang berwawasan kebangsaan dan persatuan, ia menentang gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo, walaupun ia tinggal di daerah
yang dikuasai oleh Darul Islam. la juga merupakan salah seorang tokoh yang
menuntut pembubaran Negara Pasundan ciptaan Belanda.
Dalam periode tahun 1950-an Abdul Halim pernah
menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat dan
kemudian menjadi anggota Konstituante.
Meninggalnya
K.H. Abdul Halim Ulama besar tanah Pasundan
ini menghadap Ilahi 7 Mei 1962 dan dikebumikan di Majalengka dalam
usia 74 tahun. “Meninggalkan harta bendanya diwakafkan untuk madrasah dan
institusi pendidikan. Bahkan rumah pribadinya diberikan untuk PUI”, ujar Dadah.[12]
Penghargaan
Atas jasa-jasanya Pemerintah Republik Indonesia, Presiden Susilo Bambang
Yudoyono menganugerahi
Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008